“Semua melihat Aku mengolok-olok Aku,
mereka mencibirkan bibirnya,
menggelengkan kepalanya, sambil berkata:
Ia menyerah kepada Tuhan, biarlah Dia yang meluputkannya….
Bukankah Dia berkenan kepada-Nya?
Mz. 22:8-9
Sebuah cerita yang mulai mengumandangkan sebuah jalan di padang gurun, kini berakhir di jalan salib. Salib itu bukannya suatu “icon” keagamaan, melainkan alat penghukum yang terberat/terakhir bagi mereka yang ingin menetang kekuasaan Roma. Kata Cicero, seperti dikutip Weber, bahwa pelaksanaan eksekusi dengan cara menyalibkan; sangat mengerikan dan tidak perikemanusiaan. Sehingga ia mengatakan bahwa, hukuman demikian itu harus dicabut dari undang-undang. Bila kita harus diancam dengan kematian, maka kita ingin meninggal dalam kebebasan daripada mesti mati sebagai pecundang. Jadi, mestikah istilah salib perlu dibuang dari pikiran, mata, telinga dan hati kita? Bagi para pecundang ya. Tetapi bagi orang-orang yang ingin mati dalam kebebasan pilihan itu tidak mungkin dapat disangkalnya.
Salib, menurut para Humanis adalah suatu bentuk kekejaman, hukuman mati yang tidak dapat diterima. Bagi Yesus dan orang-orang yang dipanggil untuk menjadi murid-Nya, salib adalah konsekuensi konkret dari praktek yang membebaskan (dalam Kerajaan-Nya). Menurut simbol-simbol apokaliptis dalam cerita Santo Markus Penginjil, peristiwa mistis; ketika matahari terbenam, merupakan simbol bahwa para penguasa akan digulingkan, dan dunia kekerasan-penindasan mereka akan berakhir. Alangkah mengerikan memang, adegan yang digambarkan Markus ini penuh dengan tragedi. Bahwa disatu pihak, di bawah tiang salib Romawi ini, para lawan Yesus dikumpulkan untuk mengolo-olok Dia. Di lain pihak, beberapa murid wanita memandang dengan kesedihan mendalam (kengerian). Bagaimana dengan kita? Di mana kita berdiri pada adegan akhir yang menyedihkan dan penghancuran total ini? Bukankah sebagian dari kita tersembunyi dalam setiap karakter ini? Seperti para murid laki-laki, sama sekali absen pada peristiwa terakhir ini. Mereka malahan meninggalkan Yesus pada “kepulan” konfrontasi pertama di Taman Getsemani. Mungkin sebagian dari kita berjaga bersama para wanita yang hampir tidak dapat percaya, dan yang kaku membisu karena duka cita. Dan mungkin sebagian lagi yang mencari “aman” di antara orang banyak, ikut mengejek “raja" ini yang menjadi hamba Yahwa yang bersengsara. Siapa dapat percaya (Yes. 53:1), bahwa perlakuan terhadap Yesus benar-benar berakhir dengan cara ini; yakni menyimpang dari jalannya?
Untuk menjadi murid Yesus yang setia, mesti kita memberi kepada si “penonton” di dalam diri kita kemungkinan untuk ragu-ragu. Bukankah ada sebagian dari kita, betapapun minoritas tidak berdaya, mendambakan dengan tulen dan murni akan berakhirnya penindasaan dan ketidakadilan? Di sini kita boleh menuntut dengan rasa marah amat, tetapi kemarahan ini mesti diarahkan, ditunjukkan kepada mereka yang telah berjanji untuk menciptakan suatu “Orde Baru", tetapi gagal menciptakannya. Entah kenapa?
Masih tenang sajakah kita? Ataukah hati kita menjadi geram-tergerak bila harapan kita terus-menerus terancam dihancurkan; harapan akan campur tangan pada saat terakhir dari Elia, yaitu dari apa saja yang membuat semua cerita kehidupan kita ini akan berakhir dengan happy ending dan selamat? Sejauh kita betul-betul haus akan keadilan Yahwe dengan segenap hati, dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan (Mrk. 12:33). Dan sejauh kita betul-betul rindu akan “ketukan/pukulan palu” yang menentukan putusan yang jujur dan adil, supaya penindasan, ketidakadilan dipatahkan dan diakhiri. Bukannya ketika palu diketukkan semakin ditegakkan dan diperluaslah kebuasan, ketidakadilan dan penindasan. Bila kita semua berhasil dipatahkan, maka kita boleh datang kepada salib ini dengan hati yang jujur - bersama semua orang lain yang kini masih hidup, yang ditindas, dibungkam mulutnya, yang sedang dan sudah meninggal, dan yang dijadikan martir, yang teriakan “berapa lama lagi?” yang terus bergema selama sepanjang perjalanan sejarah - menuntut suatu keadilan demokrasi dan penyelesaian yang adil dan manusiawi atas semuanya itu. Sebab bila tidak, cerita ini akan berakhir dengan kemenangan para penguasa. Kalau hal ini yang terjadi, sama sekali bukanlah cerita yang baru. Tetapi sayang bahwa seluruh perjuangan kita ke arah pembebasan, yang seharusnya juga dinikmati kaum minoritas hanya merupakan suatu olok-olokan dan tawa canda terhadap “berita gembira”, dari para penindas itu. Bagaimana kita para simpatisan Yesus, dapat membayangkan ini seandainya saja Yesus mau turun dari salib ketika diminta oleh para lawan-Nya, supaya mereka percaya? Berapa banyak di antara kita yang sungguh bersedia untuk menerima, bahwa dengan tinggal di sana, ia akan menunjukkan jalan pembebasan. Dan siapa yang tidak menyetujui, bahwa pada saat inilah para penindas, penguasa digulingkan, kemudian merajalah kekuasaan, kebebasan dan kemuliaan? Atau mampukah kita hanya berdiri bersama para wanita untuk paling tidak hanya memandang dari jauh?
Sekarang boleh bertanya pada diri kita sendiri, siapa di antara kita dapat menerima konsekuensinya sebagai simpatisan “Si Terdakwa” bagi hidupnya sendiri? Saya kira kita tidak seperti para wanita itu, bersedia rela menerima suatu undangan Yesus, “Sang Martir” untuk mengikuti jalan salib ini dari semula.
Mungkin kita akan lari dengan melongo karena ketakutan. Lari karena ketakutan adalah sifat Simon Petrus dan kawan-kawannya ketika mereka membiarkan Yesus sendiri tertatih-tatih memikul salib ke Golgota. Pada hal Simon Petrus dan kita adalah orang-orang yang dipanggil pertama untuk mengikuti-Nya. Tetapi ketika kita dituntut konsekuensinya dari pilihan kita itu, kita lari meninggalkan Dia seorang diri. Kita lebih suka mencari kehangatan, seperti Petrus lebih suka berdiang dekat api daripada kedinginan dan menderita bersama Yesus. Akan tetapi, saya tetap meyakini akan hal ini, bahwa di antara kita ribuan pengikut Yesus yang tidak setia, masih ada segelintir orang, entah sadar atau tidak yang menanggapi panggilan Yesus untuk menjadi murid yang setia sampai akhir cerita eksekusi-Nya di salib. Sosok mereka yang setia ini kiranya didelegasikan oleh para wanita, Yohanes dan Simon dari Kirene. Ia meskipun orang luar, bukan orang simpatisan Yesus bersedia membantu memikul salib Yesus. Mengapa mereka ini dapat bertahan dan setia sampai akhir, walaupun dalam keadaan tersulit? Barangkali mereka memiliki prinsip dan keyakinan ini, bahwa “salib” bukanlah suatu bentuk simbol kekejaman seperti yang dipahami para humanis, melainkan di dalam rintihan salib tercuatlah harapan ini: bahwa akan ada pembebasan dan kemenangan. Ya Yesus, di dalam dunia kami sekarang ini, Engkau senantiasa tampil dalam rupa-rupa lain: Mereka yang tertindas karena beda keyakinan, keterpurukan/kesenjangan ekonomi, kemiskinan, kemerosotan moral keluarga, ketidakadilan, diskriminasi ras dan suku. Tetapi kerap kami tidak sadar dan melihat akan kehadiran-Mu itu. Karena kami lebih suka menyibukan diri dengan keadaan dan kelompok kami sembari menutup mata untuk sesama yang membutuhkan uluran tangan kami. Supaya kami sadar akan kehadiran-Mu itu, ketuklah hati kami ya Tuhan Yesus.
Sumber: Kami sedikit baharui tulisan kami (Guilherme C. Barros, OFM) dengan judul: Dari Rintihan Salib, Timbul Pembebasan, dalam Majalah HIDUP – Mingguan Umat Beriman, Jakarta, 1 DESEMBER 1996, hal. 54-55.
Note: Tulisan ini merupakan ungkapan kegembiraan kami atas kesuksesan dua putra terbaik dari Timor-Timur (red: Timor-Leste), Uskup Carlos Filipe Belo, SDB dan Dr. José Ramos Horta, yang berhasil meraih hadia tergengsi: Nobel Perdamaian, 1996.
Foto: Doc. pribadi.
Comments
Post a Comment