Di Cina, anak umur di bawah 18 tahun dilarang mengikuti ibadat di gereja.
PAI - "Baru-baru ini saya berjalan perlahan menaiki bukit dengan seorang Pastor lokal di daerah terpencil di Cina. Dalam perjalanan itu, dia tetap dekat dengan saya ketika kami menyesuri jalan mendaki lereng yang curam menuju gereja Bunda Maria Peziarah. Dia terus merapat dengan saya, bukan karena badannya tidak stabil pada pendakian itu, tetapi dia ingin membisikan segala sesuatu yang sedang terjadi di Cina", kata Prof. Anthony.
“Pemerintah setempat mengirim orang dengan peralatan berat untuk 'Sinicise' (mencinakan) gereja kami. Mereka menghancurkan semua patung kudus di luar rumah, sementara kami semua menyaksikan kejadian itu dengan hati pedih", bisik pastor itu kepada Prof. Anthony.
Di provinsi lain, ada panti Katolik yang menampung anak yatim-piatu, orang tua, dan orang cacat. Wanita yang bertanggung jawab atas panti itu adalah seorang perawan yang ditahbiskan. Dia memberi tahu Prof. Anthony bahwa "patung besar St. Joseph di pintu gerbang, di depan panti, telah dipindahkan oleh pihak berwenang. Namun, tidak diberi alasan mengapa patung itu dipindahkan."
Menurut Prof. Anthony, "kedua insiden itu, malah terjadi setelah ditandatanganinya perjanjian antara Tahta Suci Vatikan dan Pemerintah Cina, September 2018. Setelah perjanjian itu, umat Katolik di Cina bersenang bahwa situasi mereka akan lebih baik. Tetapi justru kehidupan mereka yang datang duduk di bangku gereja setiap hari Minggu tidak kalah rumitnya dengan minggu-minggu sebelum ditandatangganinya perjanjian itu."
Meski demikian, kata Prof. Anthony, "ada beberapa kota, seperti Beijing dan Shanghai, yang sering dikunjungi turis asing, situasinya berkembang jauh lebih baik. Saat ini, Gereja di Cina, telah memasuki era baru, yang membutuhkan beberapa penjelasan, untuk menjawab kecemasan umat, karena ketidaksaling-pahaman antara Pemerintah dan Gereja, yang kerap membingungkan umat."
Perjanjian September 2018, hanya dapat dipahami dalam konteks internasional. Namun dalam kenyataan lokal, Gereja bisa berfungsi, namun tetap dalam kendali pemerintahan komunis, yang secara terbuka, menentang kepercayaan dan menekan praktik keagamaan Gereja setempat.
Situasi itu jelas kontras dengan Pasal 36 Konstitusi Republik Rakyat Cina yang berbunyi: “Warga Republik Rakyat Tiongkok menikmati kebebasan berkeyakinan dan beragama. Artinya, negara melindungi kegiatan keagamaan berjalan normal. Namun dengan penegasan bahwa, seorang pun tidak dapat menggunakan agama untuk melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban umum, kesehatan warga, sistem pendidikan negara. Institusi agama dan urusan keagamaan tidak boleh tunduk pada pengaruh asing.”
Sehingga, menjadi seorang Katolik di Cina kapan saja bisa dicap tidak normal, bila kegiatannya tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang diselenggarakan negara, dan atau tunduk pada pemimpin asing. Umat Katolik di Cina sering mengatakan : "kebebasan agama mereka dapat berjalan leluasa kalau mereka mematuhi ideologi negara."
Orang katolik intelektual Cina sering mengutip kata-kata bijak dari Kaisar Taizong (598-649) dari dinasti Tang, yang mengatakan: ”Dengan cermin perunggu, orang dapat melihat apakah ia berpakaian dengan benar; dengan sejarah sebagai cermin, seseorang dapat memahami kebangkitan dan kejatuhan suatu negara; dengan laki-laki sebagai cermin, orang dapat melihat apakah dia benar atau salah". Nasihat bijak itu, selalu mengingatkan umat Katolik Cina akan perilaku Partai di masa lalu yang sangat diskriminatif, anti kekristenan dan genocide. Dengan belajar pada sejarah gelap itu, umat Katolik di Cina dapat memahami motivasi imannya dengan situasi konteksual sekarang.
Keteguhan iman umat katolik di Cina dapat memotivasi kita akan Tuhan yang kita imani. Situasi umat di sana, membuat kita bertanya: "Apakah kita kuat ketika di hadapkan dengan tantangan berat yang menekan kita untuk mengimani Tuhan? Ataukah kita akan meninggalkanNya sehingga kita terbebaskan dari tekanan hidup?"
Dalam situasi genting seperti itu, ternyata tidak membuat Gereja di Cina untuk menyerah dan meninggalkan Tuhan. Tetapi situasi itu justru menguatkan iman mereka akan Tuhan yang memanggil mereka kepada kebenaran dan kehidupan, meskipun mereka dihimpit maut.
Kita bersyukur bahwa, di tempat kita, hampir tidak ada tekanan seperti yang dialamai oleh Gereja di Cina. Meskipun di sana-sini, kita masih dengar ada riak-riak kecil yang kadang meminta korban. Namun keadaan kita saat ini, tidak dapat dibandingkan dengan penderitaann Gereja martir di Cina.
Sebagai tanda solidaritas kita dengan semua orang yang menderita di seluruh dunia, khususnya mereka yang di Cina, mari kita menghayati penderitaan kita sambil belajar pada Yesus, bagaimana mengasihi dan hidup berdamai dengan orang lain.
Sumber: https://catholicherald.co.uk/magazine/what-chinas-catholics-really-think-of-the-vatican-deal/
(Gcb)
Comments
Post a Comment