SPIRITUAL - Menurut berita yang dilansir oleh Life Site News, bahwa Profesor Peter Hünermann - seorang teolog Jerman yang dekat dengan Paus Fransiskus, merekomendasikan kepada Paus untuk membentukan sebuah komisi untuk para diakon wanita. Dalam sebuah wawancara pekan lalu dia mengatakan bahwa ia melihat sebuah “tanda” kemungkinan Paus Fransiskus terbuka untuk diakon wanita.
Pada 8 Maret 2019, berbicara dengan situs Katholisch.de, Profesor Hünermann - pensiunan profesor teologi di Universitas Tübingen - mengisahkan bahwa, menurut sumbernya sendiri, komisi Vatikan untuk diakon wanita tidak mendukung gagasan itu. Namun ia berpendapat bahwa Paus Fransiskus tidak setuju dengan laporan dari komisi itu.
Pada tahun 2016, Profesor Jerman itu secara pribadi merekomendasikan kepada Paus Fransiskus bahwa ia membentuk komisi tentang sejarah diakon wanita dan “penerimaan wanita menjadi diakon” di dalam Gereja Katolik, sebagaimana diungkapkan Hünermann secara terbuka pada tahun 2017. Ditanya tentang hasil dari komisi itu - yang memang didirikan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2016 - Hünermann menjelaskan bahwa "pernyataan komisi penelitian yang terakhir belum
dipublikasikan." (Menurut salah satu anggota komisi, Profesor Karl-Heinz Menke, laporan itu telah selesai pada bulan Juni 2018 dan diserahkan kepada Paus.) Namun laporan itu, kata Hünermann, telah sampai pada kesimpulan bahwa "seseorang tidak dapat memutuskan pertanyaan tentang diakon wanita." Seperti laporan lain mengenai laporan komisi yang sama ini, sumber-sumber sejarah terlalu langka untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sejarah para diakon wanita.
dipublikasikan." (Menurut salah satu anggota komisi, Profesor Karl-Heinz Menke, laporan itu telah selesai pada bulan Juni 2018 dan diserahkan kepada Paus.) Namun laporan itu, kata Hünermann, telah sampai pada kesimpulan bahwa "seseorang tidak dapat memutuskan pertanyaan tentang diakon wanita." Seperti laporan lain mengenai laporan komisi yang sama ini, sumber-sumber sejarah terlalu langka untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang sejarah para diakon wanita.
Namun, bagi Hünermann, fakta bahwa Paus “telah menahan hasil studi itu selama berbulan-bulan. Hal itu pertanda bagi saya bahwa Paus tidak setuju dengan pernyataan ini sebagaimana adanya.”
Lebih lanjut Profesor Jerman ini mengatakan bahwa untuk Gereja-gereja Timur “diakon wanita diterima dengan baik. Dan baru-baru ini, Gereja-gereja Timur (Ortodoks) telah memperkenalkan kembali diakon wanita. ”Karena itu, saya tidak mengerti bagaimana orang dapat secara wajar mengklaim bahwa partisipasi wanita dalam tahbisan resmi adalah mustahil", katanya.
Teolog Jerman itu juga merujuk pada diskusi tentang wilayah Amazon, mengatakan bahwa di sana, "mungkin setahun sekali, seorang imam datang memberkati pasangan yang akan menikah di paroki yang dipimpinnya. " Mengapa hanya pria yang "diberi tanggung jawab ini?", tanya Profesor Hünermann.
Profesor Hünermann, menurut wawancara Commonweal Magazine 2016, telah mengerjakan topik ini selama “lebih dari empat puluh tahun.” Dia mengatakan bahwa dia “bahagia” ketika mendengar bahwa Paus Fransiskus membentuk sebuah komisi untuk mempelajari masalah diakon wanita. “Saya pikir para diakon wanita akan menjadi langkah besar untuk mengintegrasikan perempuan secara sakramental ke dalam pelayanan yang sudah mereka lakukan.”
Dalam wawancara yang sama, Hünermann berkata bahwa ia telah mengenal Paus Fransiskus secara pribadi sejak 1968. Mereka sering bertemu hampir setahun sekali di Buenos Aires, dan tinggal di kediaman seminari Yesuit - Jorge Bergoglio, ketika sebagai dosen tamu di Argentina. Dia juga menceritakan bagaimana Paus mengundangnya untuk berbicara selama satu jam di kediaman kepausan Santa Marta pada Mei 2015, dalam persiapan dokumen Kerasulan Kepausan: Amoris Laetitia. Dia juga menjelaskan bahwa dia menyiapkan makalah sebelum datang bertemu dengan Paus. Dalam pertemuan itu, dia mengajukan argumen kepada Paus berkenaan dokumen kepausan seperti Casti Cannubii (1930) "too narrow," dan pernikahan yang "hancur" dan jika ada anak-anak dan sebagainya, " seseorang harus berurusan dengan situasi individu itu dan berusaha menemukan pendekatan pastoralnya. Teolog Jerman itu juga menggambarkan beberapa pemikirannya tentang sifat Sakramen Tobat, inilah point pentingnya bahwa orang yang bertobat “harus menyatakan keinginannya untuk diperdamaikan.” Karena “Penebusan dosa di sini tidak berkaitan dengan masalah penerapan hukum atau dekrit,” katanya.
Maka, profesor Jerman itu menunjukkan bahwa Amoris Laetitia merujuk pada pemahaman baru tentang "rekonsiliasi," dan nasihat seorang imam yang "mengarah pada kemungkinan akan berekonsiliasi dengan Allah, dan hal itu membukakan pintu untuk menyambut Tuhan dalam Ekaristi."
Dalam wawancara pada 8 Maret 2019 dengan Katholisch.de, ia juga membahas kritik keras yang telah berulang kali ia terima dari Paus Benediktus XVI ( ketika masih dikenal sebagai Kardinal Ratzinger) karena pandangannya yang liberal. Pada waktu itu, Kardinal Joseph Ratzinger pernah menyebut teolog Jerman itu sebagai “Presiden Sosialis Internasional,” tepat ketika Profesor Hünermann terpilih menjadi Presiden Serikat Eropa untuk bidang Teologi Katolik. Saat bertemu dengan Kardinal Ratzinger di Roma, Prefek Kongregasi untuk Iman itu berkata kepadanya: "Jadi, Tuan Hünermann, sekarang Anda adalah Presiden Sosialis Internasional." Dalam pandangannya, kemudian Kardinal Ratzinger memiliki "monolog" kritis tentang keadaan teologi moral di Jerman dan tentang masing-masing teolog Jerman, dan " kritikan itu sangat keras" kata Hünermann.
Hünermann pernah menjadi bagian dari kelompok oposisi Jerman yang mengkritisi ensiklik Humanae vitae Paus Paulus VI yang melarang penggunaan alat kontrasepsi. Dia juga ikut menandatangani Deklarasi Cologne 1989 terhadap - antara lain - Humanae Vitae, dan tindakan perlawanan ini, menurutnya, “dipertahankan secara diplomatis” oleh Uskup saat itu Karl Lehmann, yang kemudian menjadi Presiden Konferensi Waligereja Jerman yang kemudian diberitahu, pada tahun 1999, oleh Paus John Paul II untuk tidak berpartisipasi dalam sistem konseling wanita hamil di Jerman, yang memberikan sertifikat konseling untuk melegalkan aborsi.
Profesor Hünermann yang, pada tahun 2018, menjadi sorotan berkaitan dengan “Lettergate” untuk beberapa buku yang ditulis tentang “Teologi Paus Fransiskus,” yang salah satunya ditulis oleh sang teolog Jerman itu. Paus Benediktus, dalam surat yang diterbitkan sebagian oleh Monsignor Dario Viganò (tanpa izin Benedict), menyatakan bahwa ia tidak akan menyumbangkan kata pengantar untuk buku-buku di mana Hünermann sebagai salah satu penulisnya. Paus Emeritus, Benediktus XVI menjelaskan keputusannya sendiri tentang fakta itu bahwa teolog Jerman tersebut dikenal karena inisiatifnya "anti-paus". Karena itu Benediktus menulis:
Hanya sebagai catatan kaki, saya ingin mencatat keterkejutan saya atas fakta bahwa Profesor Hünermann, yang selama masa kepausan saya membedakan dirinya karena mempelopori upaya anti-paus, juga ditampilkan di antara para penulis. Dia adalah tokoh kunci dalam melansir “Kölner Erklärung,” yang terkait dengan ensiklik Veritatis Splendor, dengan kejam menyerang otoritas magisterial Paus, terutama dalam masalah teologi moral. Selain itu, "Europäische Theologengesellschaft," yang ia dirikan, pada awalnya disusun olehnya sebagai organisasi yang menentang magisterium kepausan.
Menanggapi surat itu, Serikat Eropa untuk bidang Teologi Katolik membuat pernyataan di situs web mereka demi membela Profesor Hünermann, dengan menyatakan: “Namun, dengan menyesal kami juga mencatat kritikan terhadap salah satu penulis koleksi buku yang menyebabkan dikeluarkannya surat tersebut yaitu, Prof. Peter Hünermann, yang merupakan pendiri, presiden pertama dan sekarang presiden kehormatan Serikat kami. "
Life Site News menghubungi Profesor Hünermann dan meminta komentar dan informasi lebih lanjut tentang Komisi Diakon Wanita dan kemungkinan keputusan Paus Fransiskus, tetapi tidak mendapat balasan.
Sumber: Artikel ini dikompilasi dari Life Site.
(Gcb)
Comments
Post a Comment